Kamis, 07 November 2013

4 Sifat Seorang Pemimpin Bijaksana

“Bukan karena kelahiran seseorang dapat disebut “vassala : sampah masyarakat”
bukan karena kelahiran seseorang disebut Brahmana tetapi karena perbuatan-lah seseorang menjadi mulia (brahmana) & karena perbuatan pula seseorang menjadi hina (vassala)”. Vassala Sutta, Sutta Nipata. Pada kenyataannya, setiap orang selalu berkeinginan atau bercita-cita untuk menjadi seorang pemimpin, walaupun adakalanya potensi (kemampuan) yang dimiliki, tidaklah sesuai dengan kriteria-kriteria atau standard-standard yang berlaku. 

Perihal ini, bisa dibuktikan dengan susahnya kita mengatur atau menguasai seseorang. Ada yang mengatakan bahwa mengatur ribuan sapi adalah jauh lebih mudah dari pada mengatur seorang manusia. Buktinya, jika ribuan (segerombolan) sapi dihalau atau disuruh memasuki kandang-nya maka akan mudah terlaksana. 

Tetapi jika seorang manusia disuruh masuk ke-dalam rumah maka akan keluar beraneka ragam komentar & alasan, yang bisa saja dalam bentuk argumentasi, sanggahan atau pertengkaran. Itulah yang namanya manusia ! Singkatnya, jarang bisa dijumpai, orang-orang yang senang atau mau diatur, disuruh atau diperintah. Umumnya, semuanya ingin mengatur, menyuruh atau memerintah. 

Nach, bagi yang berkeinginan atau bercita-cita menjadi seorang pemimpin, maka milikilah sedini mungkin, misalnya : kemampuan, kemauan & kebijaksanaan yang memadai agar diri sendiri tidak menderita & orang-orang yang dipimpin tidak sengsara dikemudian hari. Oleh karena itu & agar jangan sampai tersesat maka milikilah sedini mungkin, mengenai pedoman-pedoman dasar, tentang apa yang dimaksud dengan kata pemimpin. Di dalam kitab suci Cakkavatti Sihananda Sutta, Sang Buddha menyabdakan bahwa seorang pemimpin haruslah : I.- Bertindak adil & tidak membeda-bedakan antara satu kelompok dengan yang lainnya. 

Dalam hal ini, kalau telah berhasil menduduki suatu posisi (sebagai seorang pemimpin) maka buatlah suatu kondisi bahwa diri sendiri (sekarang ini), sudah merupakan bahagian dari masyarakat. Jadi, “embel-embel atau logo-logo” yang sebelumnya digunakan, misalnya : berasal dari agama ini, suku itu, aliran begini, bahasa begitu, dan lain sebagainya, semuanya sudah seharusnya dilepaskan. 

Seorang pemimpin yang masih dilekati oleh asal muasal keberadaannya, tidaklah akan bisa menjadi seorang pemimpin yang bijaksana. Mengapa…? Karena tindakan-tindakan & keputusan-keputusan yang akan, sedang & telah dicetuskan, pasti didasari oleh asal usulnya, sehingga akhirnya timbul-lah penyelesaian yang sifatnya, berat sebelah (tidak adil) & umumnya terdapat kecenderungan akan adanya niat-niat terselubung. 

Jadi, sebagai seorang pemimpin, sudah seyogianya kita meninggalkan diri dari “embel-embel atau logo-logo” identitas yang sebelumnya. Jadikanlah diri ini sebagai bahagian dari masyarakat, yang bersifat netral, adil & jujur. Kalau tindakan-tindakan (keputusan-keputusan) yang akan, sedang & telah diperbuat, telah terbebas dari ikatan-ikatan maka hasil (akibat) nya adalah kepuasan, baik bagi diri sendiri maupun masyarakat. Di samping itu, pemimpin yang bertindak adil & bijaksana, akan selalu didukung oleh masyarakat, sehingga apa yang diprogramkan akan semakin mudah direalisasikan. 

Tanpa adanya dukungan-dukungan (sokongan-sokongan) masyarakat maka bagaimana-pun indahnya suatu rencana, tidaklah mungkin bisa dilaksanakan & apalagi direalisasikan. Perihal ini, harus disadari dengan sebaik-baiknya oleh seorang pemimpin. Di dalam kitab suci Dhammapada Pandita Vagga VI : 81, Sang Buddha menyabdakan : “Bagaikan batu karang yang tidak tergoncangkan oleh badai, demikian pula orang bijak tidak tergoyahkan oleh pujian maupun celaan”. 

Di kondisi ini, seorang pemimpin hendaknya bisa mengontrol diri & tidak akan senang (tergila-gila) akan pujian & antipati oleh celaan-celaan. Dia hendaknya senantiasa memiliki kestabilan kondisi bathin, yang tidak akan senang di kala dipuji & sedih di saat dicela, dihina atau difitnah. “Semakin tinggi suatu bangunan maka akan semakin keras pula terpaan angin yang dirasakan”, itulah perumpamaan bagi posisi seorang pemimpin. II.- Tidak membenci salah satu atau lebih pengikutnya. 

Jangan sampai terjadi, yang hanya dikarenakan kritikan-kritikan yang sifatnya koreksi, mentalnya langsung “down : jatuh” serta timbul antipati. Menghalalkan segala cara untuk memuaskan “ambisi, ke-egois-an & kebencian”, bukanlah tipe atau ciri khas dari seorang pemimpin yang bijaksana. Seyogianya, seorang pemimpin “berterima kasih” atas kritikan-kritikan yang sifatnya koreksi. Mengapa….? Karena siapa lagi yang bisa melihat, menunjukkan atau membantu mengoreksi kesalahan-kesalahan atau kekurangan-kekurangan diri kita, selain orang lain. 

Kalau kita tidak mampu (mau) menerima kritikan-kritikan yang sifatnya koreksi maka kesalahan-kesalahan & kekurangan-kekurangan yang telah diperbuat, akan semakin banyak & perihal ini, sama halnya dengan memperdalam jurang kesengsaraan. Jadi, sebagai seorang pemimpin yang bijaksana, dalam kondisi & keadaan yang bagaimanapun juga, hendaknya tidak akan membenci atau menyakiti pihak-pihak lain. 

Dalam hal ini, bathinnya telah terkontrol dengan baik, emosinya senantiasa stabil & tindakan-tindakannya pun sesuai dengan jalur “dhamma : kebenaran”. Di dalam kitab suci Samyutta Nikaya I : 37, Sang Buddha menyabdakan : “Berkah dari kebajikan moral tidak pernah memudar, keyakinan juga membawa banyak kebaikan. Kebijaksanaan adalah mustika teragung bagi manusia; pencuri tidak pernah bisa mencurinya”. 

Dan sudah seharusnya (sebagai seorang pemimpin) kita mampu menaklukkan kebencian, kemarahan & kekesalan, baik yang ditimbulkan oleh bawahan-bawahan maupun lingkungan tempat kerja. “Barang siapa yang dapat menahan kemarahan yang meletup seperti kusir, yang menghentikan kereta yang sedang melaju, ia patut disebut sais sejati, sedangkan kusir-kusir lain hanyalah pemegang tali kendali”. Dhammapada Kodha Vagga XVII : 222. Jadi, seorang pemimpin itu, sangatlah identik dengan seorang kusir sais, yang mengontrol & mengarahkan kuda-kuda nya agar tidak keluar dari jalur. 

III.- Tidak menunjukkan rasa takut apabila tindakannya benar secara hukum. Seorang pemimpin yang bijaksana, telah terbebas dari rasa takut akan ini & itu. Dia tidak akan lari atau mengelak dari kenyataan-kenyataan jika diancam, sejauh tindakan-tindakannya berada di jalur yang benar. Yang perlu ditakuti hanyalah satu yaitu “hiri & ottappa : malu berbuat jahat & takut akan akibat dari perbuatan jahat”. 

Singkatnya, dia akan senantiasa berani & mau mengorbankan kehidupannya, demi membela kebenaran atau dia tidak akan takut mati, untuk menegakkan tonggak-tonggak kebenaran. Di dalam kitab suci Dhammapada Bala Vagga V : 68, Sang Buddha menyabdakan : “Suatu perbuatan yang apabila dilakukan tidak membuat pelakunya terberangas di kemudian waktu, yang membuat pelakunya menikmati pahalanya dengan sukacita & kepuasan; perbuatan itu merupakan karma baik”. Selain tidak takut membela kebenaran, seorang pemimpin sudah seharusnya memiliki “sila : moral” yang baik. Dia mampu (mau) bertindak dijalur yang terpuji (di setiap derap langkah yang dilalui). 

Terdapat “Pancasila : 5 sila”, yang sudah seyogianya dipedomani oleh seorang pemimpin. Kelima sila tersebut adalah menghindari : a) pembunuhan. Seorang pemimpin tidaklah pantas, menghalalkan beraneka ragam cara, untuk bisa memuasi atau melampiaskan kekesalan-kekesalannya. Dia hendaknya, senantiasa mengembangkan cinta kasih, yang penuh dengan kelembutan & kasih sayang. b) pencurian. Mengambil sesuatu yang bukanlah merupakan hak, haruslah dihindari sedini mungkin. 

Seorang pemimpin jika mendambakan bawahan-bawahan yang jujur & bebas dari korupsi maka pertama-tama sekali, dia haruslah jujur & bebas dari unsur-unsur KKN. c) berzinah. Perbuatan-perbuatan asusila yang bagaimanapun bentuknya, haruslah dihindari sedini mungkin oleh seorang pemimpin yang baik. Seorang pemimpin, hendaknya bisa puas dengan apa yang telah dimiliki. Jika telah beristri satu, jangan lagi dicari istri yang kedua, ketiga & seterusnya atau melakukan perzinahan. d) berdusta. 

Seorang pemimpin haruslah bisa menyeleksi kata-kata yang akan diutarakan dan bebas dari janji-janji yang tidak pernah (bisa) direalisasikan. Hendaknya, apa yang telah diutarakan, itulah diterapkan. Pemimpin yang sering mengumbar janji, tidaklah akan bisa mendapat hasil yang optimal. Dalam hal ini, berusahalah selalu bertindak & berlaku yang sejujurnya, yang bebas dari kata-kata dusta. e) bermabukan. 

Seorang pemimpin, sudah seyogianya menjauhkan dirinya dari lingkungan-lingkungan yang tidak baik, misalnya : diskotik dan lain sebagainya. Tujuan dari penghindari ini adalah agar terbebas dari jeratan-jeratan (makanan-makanan & minuman-minuman) yang memabukkan. Seorang pemimpin yang bijaksana, tidaklah akan lari dari kenyataan-kenyataan yang seharusnya dihadapi. 

Dia tidak akan bermabuk-mabukan sebagai kompensasi dari kekecewaan-kekecewaan, kekesalan-kekesalan atau kejengkelan-kejengkelannya. Singkatnya, seorang pemimpin selain teguh pendiriannya (tidak takut akan ancaman), juga harus memiliki “sila : moral” yang baik. 

IV.- Memahami dengan jelas hukum yang berlaku & melaksanakannya bukan karena memiliki, melainkan berdasarkan alasan yang masuk akal & wajar. Agar terbebas dari kesalahan-kesalahan, baik yang disengaja maupun tidak maka seorang pemimpin sudah seharusnya menguasai hukum-hukum yang sedang berlaku, agar tidak melanggar rambu-rambu larangan. Dengan dipahami & dimilikinya pengetahuan akan hukum (dengan jelas) maka seorang pemimpin akan semakin mudah mengarahkan bawahan-bawahannya. Bebas dari tabrakan rambu-rambu larangan berarti apa yang akan, sedang & telah dilaksanakan, akan memberikan hasil yang optimal. 

Di dalam kitab suci Theragatha 100, Sang Buddha menyabdakan : “Bagi seseorang yang memiliki ketekunan dalam semangat & mempraktekkan dasar-dasar dari kesadaran, dihiasi dengan bunga kebebasan, akan damai & tidak tercemari”. Kesimpulan : Jika sebagai seorang pemimpin, kita masih mudah emosi, marah, membenci & berkeinginan untuk menyakiti pihak-pihak lain maka kita tidaklah dapat dikategorikan sebagai tipe seorang pemimpin yang bijaksana & pasti akan selalu dibenci kapan serta dimanapun berada. 

Seorang pemimpin yang selalu menggunakan “kekuasaan” nya, untuk menakut-nakuti atau mengancam ngancam bawahannya, bukanlah tipe seorang pemimpin yang bijaksana. Ini adalah ciri khas dari seorang pemimpin yang pengecut & keberadaannya akan senantiasa terancam. Oleh karena itu, agar bisa terkategorikan sebagai pemimpin yang bijaksana, yang dicintai & dihormati oleh masyarakat (bawahan) maka : 

a) Senantiasalah adil & bebas dari diskriminasi, di saat akan, sedang & telah melaksanakan tindakan-tindakan. Dalam hal ini, perlakukanlah manusia itu, sebagaimana menyayangi diri sendiri. 
b) Milikilah cinta kasih & kasih sayang yang universal, yang bebas dari hambatan-hambatan serta penuh dengan persaudaraan yang mendalam. 
c) Senantiasa stabil & kokoh pendirian serta tidak takut akan kematian, demi membela & menjunjung tinggi kebenaran. Seorang pemimpin yang bijaksana, akan berani (mau) mengorbankan kehidupannya, demi menegakkan tonggak-tonggak kebenaran. Singkatnya, dia tidak akan mengorbankan bawahannya, untuk menyelamatkan diri atau mempertahankan kehidupannya. 
d) Diakhirnya, seorang pemimpin sudah seharusnya memahami dengan sejelas-jelasnya akan hukum-hukum yang berlaku. Dalam hal ini, dia sanggup membedakan mana yang pantas dilaksanakan & mana yang harus dihindari. 

Dalam hal ini, telah dimilikikah 4 sikap baik ini…? Sabbe satta sabba dukkha pamuccantu – sabbe satta bhavantu sukhitata : semoga semua makhluk terbebaskan dari derita dan semoga semuanya senantiasa berbahagia,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar